Langsung ke konten utama

Penggunaan Dexamethasone sebagai Pengobatan untuk COVID-19: Pro dan Kontra

Penggunaan Dexamethasone sebagai Pengobatan untuk COVID-19: Pro dan Kontra 

Latar Belakang 

COVID-19 (Coronavirus Disease 2019) merupakan penyakit infeksi baru yang disebabkan oleh Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2). SARS-CoV-2 ini termasuk ke dalam famili Coronavirus dan merupakan jenis Coronavirus ketujuh yang dapat menyerang manusia. Sejak kasus pertama pada akhir Desember 2019 hingga saat ini, penyakit ini menjadi pandemi yang menyerang hampir seluruh negara di dunia. Penyebaran yang cepat dari penyakit ini utamanya melalui kontak erat dengan individu yang terinfeksi melalui droplet dari batuk atau bersin. 
Sampai saat ini telah dilaporkan bervariasi gejala dari COVID-19. Gejala ini dapat dari gejala ringan sampai dengan gejala berat. Gejala ringan dari COVID-19 termasuk demam (98%), batuk (76%), mialgia atau kelelahan (44%), produksi sputum (28%), dan sakit kepala (8%). Beberapa kasus berat sampai fatal juga telah dilaporkan pada beberapa pasien yang mengalami kegagalan pernapasan progresif (ARDS/Acute Respiratory Distress Syndrome). Selain itu, virus ini dilaporkan juga dapat merangsang keluarnya sitokin inflamasi yang berlebihan atau badai sitokin yang mana berhubungan dengan keparahan pasien dengan COVID-19. Sampai saat ini belum ditemukan pengobatan yang spesifik untuk COVID-19. Para peneliti masih mencoba mencari pengobatan dan pencegahan terbaik untuk penyakit ini. Beberapa jenis obat yang sebelumnya telah digunakan untuk penyakit lain, saat ini masih dalam proses uji klinis sebagai pengobatan untuk COVID-19. 
Pada 25 Juni 2020, The National Institutes of Health mengeluarkan protokol pengobatan terbaru untuk COVID-19 terkait dengan penggunaan dexamethasone. Protokol ini merekomendasikan penggunaan dexamethasone dengan dosis 6 mg per hari selama 10 hari pada pasien dengan COVID-19 dengan ventilasi mekanik dan pasien dengan suplementasi oksigen tanpa ventilasi mekanik. Penggunaan dexamethasone ini tidak direkomendasikan untuk pasien COVID-19 yang tidak membutuhkan suplementasi oksigen. Pernyataan ini dikeluarkan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Recovery (The Randomised Evaluation of COVID-19 Therapy). Penelitian ini merupakan uji klinis yang multisenter dan open-label pada pasien rawat inap dengan curiga secara klinis atau terkonfirmasi laboratorium untuk COVID-19. Dari penelitian ini didapatkan bahwa penggunaan dexamethasone mengurangi mortalitas pada pasien dengan COVID-19 dengan ventilasi mekanik dan pasien dengan suplementasi oksigen tanpa ventilasi mekanik. Akan tetapi, penelitian ini masih berlangsung dan hasil secara keseluruhan belum didapatkan. 
Dengan keluarnya pernyataan mengenai penggunaan dexamethasone ini dikhawatirkan terjadi penggunaan dexamethasone yang besar-besaran pada masyarakat dikarenakan obat ini sangat mudah dibeli dan ditemukan tanpa dengan resep dari dokter. Oleh karena itu diperlukan informasi yang lebih detail terkait penggunaan dexamethasone untuk pengobatan maupun pencegahan untuk COVID-19, terutama berkaitan dengan efek samping. 

Dexamethasone, Mekanisme Aksi, dan Efek Samping 

Dexamethasone adalah glukokortikoid sintesis analog yang memiliki efek fisiologis sama dengan glukokortikoid yang normal diproduksi oleh tubuh. Secara umum, glukokortikoid ini berfungsi sebagai regulasi metabolisme, fungsi kardiovaskuler, pertumbuhan, dan imunitas. Dexamethasone ini, selain digunakan sebagai anti inflamasi dan imunosupresan, juga digunakan sebagai terapi hormon untuk kondisi insufiensi adrenokortikal. Glukokortikoid memiliki mekanisme aksi yang terbagi menjadi mekanisme genomik dan non genomik. Mekanisme genomik dimediasi oleh reseptor GC (glucocorticoid) yang mengarah pada efek anti inflamasi dan imunosupresi. Reseptor GC ini berlokasi di sitoplasma sel dan kompleks antara reseptor dan glukokortikoid akan translokasi ke nukleus. Setelah terjadi translokasi, kemudian terjadi proses inhibisi transkripsi gen yang berhubungan dengan aktivasi leukosit dan regulasi fungsi sel epitel, stromal dan endotel. Hal ini mengarah pada reduksi sitokin proinflamasi, kemokin, dan molekul adhesi sel, serta enzim lain yang berhubungan dengan respon inflamasi. Mekanisme non genomik lebih cepat dan dimediasi dengan interaksi dengan reseptor GC di sitoplasma atau membran. Dalam beberapa detik setelah glukokortikoid berikatan dengan reseptor GC, kaskade efek akan teraktivasi, termasuk inhibisi fosfolipasi A2. Fenomena ini dimediasi oleh peningkatan sintesis lipokortin-1, mengarah pada gangguan pelepasan asam aradikodat yang diikuti dengan penurunan produksi prostaglandin, leukotrien, dan faktor aktivasi trombosit. 
Sebagaimana diketahui bahwa glukokortikoid berefek pada hampir seluruh sistem tubuh sehingga efek sampingnya pun akan dapat muncul pada berbagai sistem tubuh. Efek samping penggunaan dexamethasone secara umum terbagi menjadi dua, yaitu secara umum dan endokrin. Secara umum yang dapat muncul adalah insomnia, peningkatan sodium dan retensi air, peningkatan ekskresi potassium, supresi sistem imun dan respon inflamasi, osteoporosis, perforasi intestinal, ulkus peptikum, dan gangguan pada penyembuhan luka. Sedangkan, efek samping pada sistem endokrin adalah diabetes mellitus, hiperlipidemia, atrofi adrenal, supresi aksis hipotalamik-pituitari, dan tanda serta gejala cushingoid seperti buffalo hump, moon face, dan peningkatan kadar gula darah. Dengan adanya banyak efek samping dari dexamethasone, penggunaan dexamethasone sebaiknya sesuai dengan indikasi dan berdasarkan resep dari dokter. 

Dexamethasone dan COVID-19 

Berdasarkan pernyataan yang disampaikan oleh The National Institutes of Health, dexamethasone dapat digunakan sebagai pengobatan untuk COVID-19. The National Institutes of Health merekomendasikan penggunaan dexamethasone dengan dosis 6 mg per hari selama 10 hari pada pasien dengan COVID-19 dengan ventilasi mekanik dan pasien dengan suplementasi oksigen tanpa ventilasi mekanik. Penggunaan dexamethasone ini tidak direkomendasikan untuk pasien COVID-19 yang tidak membutuhkan suplementasi oksigen. Pernyataan ini dikeluarkan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Recovery (The Randomised Evaluation of COVID-19 Therapy). Penelitian ini merupakan uji klinis yang multisenter dan open-label pada pasien rawat inap dengan curiga secara klinis atau terkonfirmasi laboratorium untuk COVID-19 dan didapatkan bahwa penggunaan dexamethasone mengurangi mortalitas pada pasien dengan COVID-19 dengan ventilasi mekanik dan pasien dengan suplementasi oksigen tanpa ventilasi mekanik. Akan tetapi belum ada data yang lengkap mengenai hasil dari penelitian ini, termasuk efikasi secara umum, efek samping yang mungkin muncul, dan interaksi dengan obat yang lainnya. 
Solinas, et al (2020), di dalam reviewnya menyatakan bahwa glukokortikoid mungkin akan membantu dalam mencegah kerusakan pada alveolus atau paru-paru yang diinduksi oleh badai sitokin dan kemokin. Meskipun glukokortikoid ini seringkali digunakan untuk imuosupresan yang mana menghambat produksi sitokin, glukokortikoid ini berpotensi memperlambat klirens dari virus dan mengganggu proliferasi dari limfosit. Walaupun demikian, glukokortikoid ini telah digunakan sebagai manajemen dari ARDS yang disebabkan oleh Middle East Respiratory Syndrome Coronavirus (MERS-CoV) dan Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus (SARS-CoV), yang mana keduanya memiliki karakteristik adanya inflamasi pulmoner histologis dan kerusakan alveolus difus. Sampai saat ini, tidak ada konsensus mengenai pengobatan dengan glukokortikoid dapat bermanfaat untuk manajemen COVID-19, mengingat berpotensi memperlambat klirens virus dan juga meningkatkan resiko infeksi sekunder serta efek samping, termasuk hiperglikemia, psikosis, dan nekrosis avascular. 
Selvaraj, et al (2020), melaporkan bahwa pemberian dexamethasone pada pasien dengan COVID-19 di RS Miriam dapat mencegah progresi kegagalan pernapasan pada pasien dengan keparahan sedang dan berat. Selain itu, pemberian dexamethasone dapat membantu mempercepat proses pemulihan. Dexamethasone yang diberikan dengan dosis 4 mg sebanyak 3 kali sehari selama 2 hari, diikuti dengan 4 mg 2 kali sehari selama 2 hari, dan selanjutnya 4 mg sekali sehari selama 2 hari. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang sedang dilakukan oleh Recovery (The Randomised Evaluation of COVID-19 Therapy) di mana pemberian dexamethasone bermanfaat untuk pasien dengan tingkat keparahan yang berat, walaupun dosis dan durasi pemberian dexamethasone berbeda. 
Fadel, et al (2020) melakukan penelitian kuasi dan multisenter di Michigan sejak 12 Maret sampai 27 Maret 2020 dengan menggunakan glukokortikoid jenis metilprednisolon pada pasien COVID-19 dewasa dengan keparahan sedang-berat. Metilprednisolon yang diberikan dengan dosis 0,5-1 mg/kg/hari terbagi dalam 2 dosis secara intravena selama 3 hari. Dari penelitian ini didapatkan hasil bahwa pemberian metilprednisolon dapat mengurangi eskalasi perawatan (pemindahan pasien dari bangsal ke ICU, kebutuhan untuk ventilasi mekanik baru, dan mortalitas) dan memperbaiki luaran klinis. Hasil penelitian ini sejalan dengan yang dilakukan oleh Recovery (The Randomised Evaluation of COVID-19 Therapy) dan Selvaraj, et al mengenai pemberian dexamethasone. Dapat disimpulkan bahwa pemberian glukokortikoid (metilprednisolon dan dexamethasone) dapat bermanfaat untuk pasien dengan tingkat keparahan yang berat. 

Kesimpulan 

Berdasarkan beberapa penelitian yang dilakukan, dexamethasone dan glukokortikoid dapat bermanfaat pada pasien COVID-19 dengan tingkat keparahan yang sedang-berat. Dalam hal ini, penggunaan dexamethasone dapat mengurangi mortalitas pada pasien dengan COVID-19 dengan ventilasi mekanik dan pasien dengan suplementasi oksigen tanpa ventilasi mekanik, dan mencegah progresi kegagalan pernapasan pada pasien dengan keparahan sedang dan berat, serta mempercepat proses pemulihan. Akan tetapi, belum didapatkan data yang jelas mengenai penggunaan dexamethasone pada pasien COVID-19 dengan kondisi ringan atau bahkan untuk pencegahan. Perlu diingat juga bahwa pengunaan dexamethasone dapat berpotensi memperlambat klirens virus dan juga meningkatkan resiko infeksi sekunder serta efek samping, termasuk hiperglikemia, psikosis, dan nekrosis avascular. Oleh karena itu, penggunaan dexamethasone untuk mencegah maupun mengobati COVID-19 harus sesuai dengan indikasi yang ada dan sesuai dengan resep dari dokter, serta tidak disarankan menggunakan dexamethasone atas keinginan sendiri. 

DAFTAR PUSTAKA

  • Adhikari, S. P., Meng, S., Wu, Y., et al. (2020). Epidemiology, Causes, Clinical Manifestation and Diagnosis, Prevention and Control of Coronavirus Disease (COVID-19) during the Early Outbreak Period: a Scoping Review. Infectous Disease of Poverty. 9(29); 1-12.
  • Cheepsattayakorn, A., and Cheepsattayakorn, R. (2020). Proximal Origin and Phylogenetic Analysis of COVID-19 (2019-nCoV or SARS-CoV-2). EC Microbiology. 19; 9-12.
  • Fadel, R., Morrison, A., Vahia, A., et al (2020). Early Short Course Corticosteroids in Hospitalized Patients with COVID-19. Oxford University Press for the Infectious Diseases Society of America. 1-19.
  • Huang, C., Wang, Y., Li, X., et al. (2020). Clinical Features of Patients Infected with 2019 Novel Coronavirus in Wuhan, China. Lancet. 395(10223); 497-506.
  • Katzung, B. G. (2018). Basic & Clinical Pharmacology (14th ed). New York: McGraw-Hill Companies.
  • Kluwer, W., and Williams & Wilkins, L. (2009). Clinical Pharmacology Made Incredibly Easy (3rd ed). Philadelphia: Library of Congress Cataloging.
  • Lipsitch, M., Swerdlow, D. L., and Finelli, L. (2020). Defining The Epidemiology of Covid-19 - Studies Needed. The New England Journal of Medicine. 382(13); 1194-96.
  • Selvaraj, V., Dapaah-Afriyie, K. W. A. M. E., Finn, A., and Flanigan, T. P. (2020). Short-Term Dexamethasone in Sars-CoV-2 Patients. Rhode Island Medical Journal. 103; 39-43.
  • Solinas, C., Perra, L., Aiello, M., Migliori, E., and Petrosillo, N. (2020). A Critical Evaluation of Glucocorticoids in the Management of Severe COVID-19. Cytokine and Growth Factor Reviews. 1-16.
  • The National Institutes of Health. (2020). COVID-19 Treatment Guideline: The National Institutes of Health COVID-19 Treatment Guidelines Panel Provides Recommendations for Dexamethasone in Patients with COVID-19. United Kingdom: The National Institutes of Health.
  • Wan, Y., Shang, J., Graham, R., Baric, R. S., and Li, F. (2020). Receptor Recognition by the Novel Coronavirus from Wuhan: an Analysis based on Decade-long Structural Studies of SARS Coronavirus. Journal of Virology. 94(7); 1-9.
  • Zhang, L., and Liu, Y. (2020). Potential Interventions for Novel Coronavirus in China: a Systematic Review. Journal of Medical Virology. 92; 479-90.

Komentar

  1. Wynn Resorts Ltd | The Action Network
    Wynn Resorts Ltd (WYNN:NASDAQ), 김포 출장안마 Limited is a global entertainment 동해 출장마사지 company based 강릉 출장안마 in 김천 출장샵 Las Vegas, Nevada. 원주 출장안마 The Company offers global

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Transpot Protein dan Asam Amino pada Ginjal

Transpot Protein dan Asam Amino pada Ginjal  Struktur Fungsional Tubulus Ginjal  Menurut Tortora dan Derrickson (2011), tubulus ginjal merupakan bagian dari satuan fungsional terkecil dari ginjal, nefron, yang berfungsi untuk mengalirkan hasil filtrasi di kapiler gromerulus sampai diekskresikan. O’Callaghan (2006) menyebutkan bahwa fungsi tubulus adalah untuk mengubah komposisi filtrat glomerulus dan volumenya dengan cara reabsorbsi dan sekresi. Reabsorbsi sebagian besar terjadi di tubulus proksimal dan untuk kompensasi terhadap reabsorbsi yaitu sekresi yang terjadi di tubulus distal dan duktus kolektivus. Ada satu lagi tubulus yang disebut sebagai ansa henle berfungsi untuk memekatkan urin.  Tortora dan Derrickson (2011) menyatakan bahwa masing-masing tubulus mempunyai lapisan sel epitel yang berbeda-beda yang saling berkaitan satu sama lain dengan suatu taut erat. Pada tubulus proksimal ginjal sel epitelnya memiliki suatu tonjolan-tonjolan yang disebut sebagai mikrovili...

Protokol Isolasi RNA Total dengan Metode Guanidine dan Sintesis cDNA

Protokol Isolasi RNA Total dengan Metode Guanidine dan Sintesis cDNA Protokol Isolasi RNA Total dengan Metode Guanidine RNA atau asam ribonukleat merupakan polimer panjang tidak bercabang yang terdiri dari nukleotida-nukleotida. Nukleotida ini bersambung dengan ikatan 3’ sampai 5’ fosfodiester. RNA dan DNA terdapat pada semua organisme prokariot dan eukariot.  Struktur kovalen RNA berbeda dengan DNA dalam dua hal, yaitu unit glukosa dalam RNA merupakan ribosa bukan deoksiribosa, dan satu dari keempat basa utama dalam RNA merupakan urasil (U) yang menggantikan timin (T) pada DNA.  Isolasi merupakan suatu prosedur yang digunakan untuk memisahkan suatu bagian dari bagian yang lainnya dengan tujuan tertentu. Tujuan dari isolasi RNA adalah digunakan untuk memisahkan RNA dari komponen sel lainnya (protein, karbohidrat, lemak, dan lain-lain) sehingga akan didapatkan RNA yang murni yang dapat dianalisis atau dimodifikasi lebih lanjut. Prinsip untuk isolasi RNA sebenarnya tidak terlalu...

Perbandingan Longitudinal Farmakokinetik Tiroksin antara Ibu Hamil dan Tidak Hamil: Studi Isotop Stabil

Perbandingan Longitudinal Farmakokinetik Tiroksin antara Ibu Hamil dan Tidak Hamil: Studi Isotop Stabil  Hipotiroidisme primer merupakan kondisi yang relatif umum dengan prevalensi 3-10 % pada wanita dengan usia lebih dari 18 tahun. Levotiroksin sodium oral (L-tiroksin/LT4) adalah obat yang umum diberikan sepanjang hidup dengan pemantauan periodik dengan tujuan untuk memantau konsentrasi tiroksin dan tirotropin (hormone TSH) dalam serum tetap ada di dalam rentang normal. Pencarian dosis penggantian LT4 yang optimal dan efektif merupakan suatu tantangan karena dosis sangat bergantung pada kondisi individu dari pasien, kehamilan, massa tubuh, usia, diet, pengobatan lain, dan kepatuhan.  Sekitar 2% wanita hamil mendapatkan terapi levotiroksin untuk hipotiroidisme. Manajemen penyakit tiroid selama kehamilan membutuhkan pertimbangan khusus dikarenakan kehamilan menginduksi perubahan besar pada fungsi tiroid dan penyakit tiroid maternal dapat memberikan efek yang tidak diinginkan p...