Langsung ke konten utama

Metabolisme Energi pada Pasien dengan Tuberkulosis

Metabolisme Energi pada Pasien dengan Tuberkulosis 

Tuberkulosis 

Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit yang menyerang jaringan paru yang disebabkan oleh infeksi basil Mycobacterium tuberculosis (M. tuberculosis). Penyakit tuberkulosis ini merupakan masalah kesehatan dunia yang penting khususnya di negara berkembang. Saat ini, tuberkulosis masih menjadi penyebab utama kematian akibat penyakit infeksi di dunia(1–3). 
Penularan penyakit ini melalui inhalasi droplet khususnya yang didapat dari pasien TB paru dengan batuk berdarah atau berdahak yang mengandung BTA (bakteri tahan asam) positif. Pada waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak). Orang dapat terinfeksi jika droplet tersebut terhirup ke dalam saluran pernapasan. Selama kuman TB masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernapasan, kuman TB tersebut dapat menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya, melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran napas, atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya(1,2). 
Faktor resiko tertularnya tuberkulosis ditentukan oleh faktor adanya kontak dengan penderita TB BTA positif termasuk faktor seberapa dekat dan seberapa lama. Selain itu, faktor lingkungan tempat kontak juga berkaitan terutama berhubungan dengan lingkungan yang padat dan ventilasi udara yang buruk. Daya tahan tubuh, usia, penyakit penyerta juga menjadi faktor resiko endogen tertularnya penyakit ini(1,2). 
Gejala klinis dari tuberkulosis khususnya pada paru-paru dibedakan menjadi dua jenis, respiratorik (lokal) dan sistemik(1,4). Gejala respiratorik pada kasus tuberkulosis paru sangatlah bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala yang cukup berat tergantung dari luasnya lesi. Batuk baru timbul apabila proses penyakit telah melibatkan bronkus. Gejala batuk biasanya terjadi lebih dari dua minggu dan mula-mula terjadi oleh karena iritasi bronkus, selanjutnya akibat adanya peradangan pada bronkus batuk akan menjadi produktif. Batuk darah juga dapat terjadi akibat pecahnya pembuluh darah. Selain itu, juga dapat memiliki gejala seperti nyeri dada, sesak napas, dan lain-lain(1,4,5). 
Gejala sistemik pada kasus tuberkulosis antara lain, demam subfebril, adanya keringat malam, malaise dan nafsu makan yang berkurang, penurunan berat badan yang cukup signifikan, dan dapat terjadi gangguan pada mestruasi (1,2,4,5). 
Pengobatan tuberkulosis saat ini menggunakan beberapa regimen, tergantung lokasi dan tipe dari tuberkulosis. Obat lini pertama yang termasuk ke dalam regimen tuberkulosis, antara lain adalah rifampisin, isoniazid, etambutol, pirazinamid, dan streptomisin. Untuk proses pengobatannya sendiri, terbagi menjadi dua fase, yaitu fase intensif dan fase lanjutan(1,2,4,6). 

Metabolisme Energi pada Pasien dengan Tuberkulosis 

Perubahan Metabolisme pada Intraseluler (Glukosa) 

Shi et al(7) dalam penelitiannya menunjukkan adanya efek Warburg pada paru-paru tikus yang terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis. Pada pasien dengan tuberkulosis terjadi perubahan metabolisme energi berupa adanya peningkatan ambilan glukosa, jalur glikolisis, dan jalur PP (pentose-phosphate) berkaitan dengan respon terhadap infeksi dari tuberkulosis. Peningkatan regulasi transportasi glukosa terfasilitasi terlihat dari adanya peningkatan beberapa transporter glukosa, seperti glut-1, glut-3, dan juga peningkatan heksokinase 2 dan 3 untuk menjaga ambilan glukosa oleh difusi terfasilitasi yang dimediasi oleh transporter glukosa(7,8). 
Selain itu, terjadi pergeseran metabolisme energi menjadi glikolisis. Pemrograman kembali metabolisme energi pada sel yaitu predominansi penggunaan glikolisis di dalam sitosol sebagai strategi bioenergetik. Hal ini turut serta dalam penurunan produksi ATP di sel makrofag pasien dengan tuberkulosis(8,9). 
Cumming et al(9) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa adanya infeksi tuberkulosis menyebabkan melambatnya metabolisme bioenergetik di sel makrofag manusia. Hal ini ditunjukkan dengan adanya penurunan angka respirasi mitokondrial (basal respirasi) di makrofag. Selain itu, didapatkan adanya pergeseran jenis metabolisme di sel yang terinfeksi oleh tuberkulosis(9). 
Gleeson et al(10), dari penelitiannya juga menunjukkan adanya penggunaan glikolisis aerobik dikarenakan infeksi tuberkulosis yang bertujuan awal untuk meningkatkan bersihan bakteri oleh sel makrofag(10). 
Dari berbagai penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa adanya infeksi tuberkulosis membuat pergeseran metabolisme energi menjadi glikolisis aerobik dengan tujuan untuk eliminasi bakteri penyebab pada awalnya. Selanjutnya, didapatkan adanya perlambatan metabolisme metabolisme bioenergetik(7–10). 

Perubahan Metabolisme pada Leptin 

Crevel et al(11) dalam penelitiannya terkait leptin dan pasien tuberkulosis menunjukkan bahwa pada pasien dengan tuberkulosis memiliki konsentrasi leptin plasma lebih rendah dibandingkan dengan yang tidak memiliki tuberkulosis. Selain itu, konsentrasi leptin yang rendah ini berhubungan dengan adanya inflamasi pada orang dengan tuberkulosis. Penelitian menunjukkan bahwa pada tuberkulosis terjadi kenaikan kadar TNF-α yang berhubungan dengan menurunnya konsentrasi leptin plasma. Hal ini dikuatkan dengan adanya kenaikan kadar leptin dan menurunnya sitokin inflamasi setelah diberikan pengobatan tuberkulosis pada pasien(11). Akan tetapi, pada penelitian yang dilakukan oleh Buyukoglan et al, tidak menunjukkan adanya hubungan antara kadar leptin dengan kadar TNF-α, hanya saja kadar leptin yang rendah pada pasien dengan tuberkulosis kemungkinan berkontribusi terhadap peningkatan kerentanan terhadap infeksi dan penyembuhan dengan lesi sisa(12). 
Mexitalia et al(13) juga memiliki penelitian sejalan dengan Crevel et al yaitu tentang efek pengobatan tuberkulosis terhadap kadar leptin, kenaikan berat badan, dan presentasi lemak tubuh. Dari penelitian ini didapatkan bahwa dengan adanya pengobatan tuberkulosis akan meningkatkan kadar leptin sehingga akan menyebabkan pula kenaikan berat badan pada pasien dengan tuberkulosis(13). Hal ini dikarenakan leptin berkaitan dengan nafsu makan pada pasien dengan tuberkulosis. Penurunan kadar leptin menyebabkan menurunnnya nafsu makan sehingga menyebabkan penurunan berat badan yang signifikan pada pasien dengan tuberkulosis(11,13). 
Schwenk et al(14) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa terdapat hubungan kuat antara leptin dengan berat lemak tubuh(11,13,14). Selain itu, didapatkan bahwa leptin bukanlah bagian dari sitokin pro-inflamasi, tetapi berperan penting dalam tuberkulosis pada manusia(14). 
Keicho et al(15) dalam penelitiannya menyatakan bahwa kadar leptin, adiponectin, fetuin-A, dan retinol yang terikat dengan protein (RBP4) dapat dijadikan sebagai marker dari metabolism dan inflamasi dari pasien dengan tuberkulosis. Keempat marker tersebut berhubungan dengan rendahnya simpanan lemak dan inflamasi pada tuberkulosis. Leptin dan adiponectin, serta rasionya dapat menjadi marker untuk keparahan sindrom wasting pada tuberkulosis(15). 
Dari berbagai jenis penelitian yang sudah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa pada pasien dengan tuberkulosis terdapat penurunan kadar leptin di dalam plasma yang berkaitan dengan penurunan nafsu makan. Kadar leptin ini selanjutnya dapat menyebabkan penurunan berat badan yang signifikan berkaitan dengan sindrom wasting pada tuberkulosis. Hubungan antara kadar leptin pada plasma dan kenaikan beberapa sitokin pro-inflamasi masih belum jelas. Selanjutnya, leptin dan adiponectin, serta rasionya mungkin dapat digunakan sebagai marker metabolisme pada pasien dengan tuberkulosis(11–15). 

DAFTAR PUSTAKA

  1. Objectives C. Chapter 2 Transmission and Pathogenesis of Tuberculosis. :19–44.
  2. גרינבלט י. No Titleענף הקיווי: תמונת מצב. Vol. 66, עלון הנוטע. 2012. 37–39 p. 
  3. Sharma SK, Dheda K. What is new in the WHO consolidated guidelines on drug-resistant tuberculosis treatment? Vol. 149, Indian Journal of Medical Research. 2019. 309–312 p.
  4. Edition F. Tuberculosis: The Essentials. Fourth Edition. Vol. 20, European Respiratory Review. 2011. 125–125 p.
  5. Wouk H. Health alert-Tuberculosis. 2010. 68 p.
  6. Cooke NJ. Treatment of tuberculosis. Br Med J (Clin Res Ed). 1985;291(6494):497–8.
  7. Shi L, Salamon H, Eugenin EA, Pine R, Cooper A, Gennaro ML. Infection with Mycobacterium tuberculosis induces the Warburg effect in mouse lungs. Sci Rep. 2015;5(July):1–13.
  8. Shi L, Jiang Q, Bushkin Y, Subbian S, Tyagi S. Biphasic dynamics of macrophage immunometabolism during Mycobacterium tuberculosis infection. MBio. 2019;10(2):1–19.
  9. Cumming BM, Addicott KW, Adamson JH, Steyn AJC. Mycobacterium tuberculosis induces decelerated bioenergetic metabolism in human macrophages. Elife. 2018;7:1–28.
  10. Gleeson LE, Sheedy FJ, Palsson-McDermott EM, Triglia D, O’Leary SM, O’Sullivan MP, et al. Cutting Edge: Mycobacterium tuberculosis Induces Aerobic Glycolysis in Human Alveolar Macrophages That Is Required for Control of Intracellular Bacillary Replication . J Immunol. 2016;196(6):2444–9.
  11. Van Crevel R, Karyadi E, Netea MG, Verhoef H, Nelwan RHH, West CE, et al. Decreased plasma leptin concentrations in tuberculosis patients are associated with wasting and inflammation. J Clin Endocrinol Metab. 2002;87(2):758–63.
  12. Buyukoglan H, Gulmez I, Kelestimur F, Kart L, Oymak FS, Demir R, et al. Leptin levels in various manifestations of pulmonary tuberculosis. Mediators Inflamm. 2007;2007.
  13. Mexitalia M, Dewi YO, Pramono A, Anam MS. Effect of tuberculosis treatment on leptin levels, weight gain, and percentage body fat in Indonesian children. Korean J Pediatr. 2017;60(4):118–23.
  14. Schwenk A, Hodgson L, Rayner CFJ, Griffin GE, Macallan DC. Leptin and energy metabolism in pulmonary tuberculosis. Am J Clin Nutr. 2003;77(2):392–8.
  15. Keicho N, Matsushita I, Tanaka T, Shimbo T, Hang NT Le, Sakurada S, et al. Circulating levels of adiponectin, leptin, fetuin-A and retinol-binding protein in patients with tuberculosis: Markers of metabolism and inflammation. PLoS One. 2012;7(6):2–9.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Transpot Protein dan Asam Amino pada Ginjal

Transpot Protein dan Asam Amino pada Ginjal  Struktur Fungsional Tubulus Ginjal  Menurut Tortora dan Derrickson (2011), tubulus ginjal merupakan bagian dari satuan fungsional terkecil dari ginjal, nefron, yang berfungsi untuk mengalirkan hasil filtrasi di kapiler gromerulus sampai diekskresikan. O’Callaghan (2006) menyebutkan bahwa fungsi tubulus adalah untuk mengubah komposisi filtrat glomerulus dan volumenya dengan cara reabsorbsi dan sekresi. Reabsorbsi sebagian besar terjadi di tubulus proksimal dan untuk kompensasi terhadap reabsorbsi yaitu sekresi yang terjadi di tubulus distal dan duktus kolektivus. Ada satu lagi tubulus yang disebut sebagai ansa henle berfungsi untuk memekatkan urin.  Tortora dan Derrickson (2011) menyatakan bahwa masing-masing tubulus mempunyai lapisan sel epitel yang berbeda-beda yang saling berkaitan satu sama lain dengan suatu taut erat. Pada tubulus proksimal ginjal sel epitelnya memiliki suatu tonjolan-tonjolan yang disebut sebagai mikrovili yang gunanya

Protokol Isolasi RNA Total dengan Metode Guanidine dan Sintesis cDNA

Protokol Isolasi RNA Total dengan Metode Guanidine dan Sintesis cDNA Protokol Isolasi RNA Total dengan Metode Guanidine RNA atau asam ribonukleat merupakan polimer panjang tidak bercabang yang terdiri dari nukleotida-nukleotida. Nukleotida ini bersambung dengan ikatan 3’ sampai 5’ fosfodiester. RNA dan DNA terdapat pada semua organisme prokariot dan eukariot.  Struktur kovalen RNA berbeda dengan DNA dalam dua hal, yaitu unit glukosa dalam RNA merupakan ribosa bukan deoksiribosa, dan satu dari keempat basa utama dalam RNA merupakan urasil (U) yang menggantikan timin (T) pada DNA.  Isolasi merupakan suatu prosedur yang digunakan untuk memisahkan suatu bagian dari bagian yang lainnya dengan tujuan tertentu. Tujuan dari isolasi RNA adalah digunakan untuk memisahkan RNA dari komponen sel lainnya (protein, karbohidrat, lemak, dan lain-lain) sehingga akan didapatkan RNA yang murni yang dapat dianalisis atau dimodifikasi lebih lanjut. Prinsip untuk isolasi RNA sebenarnya tidak terlalu jauh den

Medula Adrenal

Medula Adrenal Anatomi Medula Adrenal Embriologi Greenspan dan Baxter (1995) menyebutkan bahwa medula adrenal berasal dari sistem saraf otonom simpatis pada fetus yaitu sel primitif krista neuralis. Pada minggu ke-5 masa kehamilan, sel ini mengalami migrasi dari ganglion spinalis primitif ke regio torakis untuk membentuk suatu rantai saraf simpatis di bagian bawah dan belakang dari aorta. Pada minggu ke-6 masa kehamilan, sekelompok sel ini bermigrasi lagi di sepanjang vena sentralis dan masuk ke dalam korteks adrenal sehingga membentuk medula adrenal di bagian tengah korteks yang dapat diketahui pada minggu ke-8 masa gestasi. Pada masa itu, sel dalam medula adrenal terdiri dari 2 sel yaitu simpatogonia (sel primitif krista neuralis) dan feokromoblas yang kemudian mengalami maturasi atau pematangan menjadi feokromosit atau yang sekarang disebut sel kromafin pada medula adrenal. Anatomi Umum Menurut Greenspan dan Baxter (1995), medula adrenal dikelilingi oleh suatu korteks yang kini dike